18.32 | Posted in
Hukum

"Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tapi untuk kemewahan".


• PENGERTIAN "KORUPSI"
• PENYEBAB DAN PERMASALAHAN KORUPSI
• HAMBATAN DALAM PENANGANAN KORUPSI
• TINDAKAN/KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG BENTUK/JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI
• BERBAGAI PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI YANG PERNAH BERLAKU DAN MASIH BERLAKU
• PERCEPATAN PEMBERANTASAN KORUPSI
• PARTISIPASI MASYARAKAT SEBAGAI “SOCIAL CONTROL”


Pada mulanya, fenomena korupsi terlihat pada sistim pemerintahan tradisional yang berlandaskan pada budaya feodal. Pada masa lalu, tanah-tanah di wilayah suatu negara atau kerajaan adalah milik mutlak raja, yang kemudian diserahkan kepada para pangeran, bangsawan, serta tuan tanah yang mempunyai hak untuk memungut pajak, sewa dan upeti sebagai bentuk pembayaran dari rakyat yang memakai tanah tersebut. Disamping membayar dalam bentuk uang atau hasil bumi, sering pula rakyat diharuskan membayar dengan tenaga kasar, yakni bekerja memenuhi berbagai keperluan tuan tanah atau penguasa. Kebiasaan rakyat untuk menyetor dan memberi upeti kepada tuan tanah serta para pembesar tersebut terus berlangsung dan dapat dilihat sampai sekarang dan dengan bentuk dan istilah yang lebih “halus”.

PENGERTIAN KORUPSI
Mengenai arti kata “korupsi”, mempunyai banyak pengertian dan berkembang menjadi suatu perbuatan yang “negative” serta mempunyai dampak yang buruk bagi kehidupan ekonomi dan sosial di masyarakat. Pendapat lain mengenai korupsi, diantaranya :
• Korupsi yang dalam bahasa latin Corruptio atau Corroptus, berasal dari kata "corrumpere" berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Sedangkan arti korupsi dari terjemahan bahasa Belanda Straafbaarfeit berarti yang dari kenyataan dapat dihukum.
• MJS Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia : “korupsi” adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya;
• Menurut Transparency International, Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, Id.wikipedia.org/wiki, “korupsi” adalah perilaku pejabat publik yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Kamus Inggris-Indonesia untuk umum, Prof. Drs. S. Wojowasito, 1977 : “korupsi” atau Corrupt adalah busuk; buruk; bejat; lancung; salah tulis dsb; dapat disuap; dapat disogok.
Corruptie ‘korupsi’ adalah kecurangan; orang yang melakukan kecurangan terhadap uang atau barang-barang kepunyaaan negara atau kepunyaan orang lain yang pengawasannya diserahkan padanya, orang demikian menjalankan corruptie. Dia adalah seorang corruptor yang tidak dapat dipercayai mengenai keuangan. (Kamus Populer, Soepeno, 1952).

Dengan demikian, makna “korupsi" merupakan suatu perbuatan untuk kepentingan pribadi dengan menyalagunakan jabatan resmi dan pengaruh serta dukungan untuk memberi dan menerima “sesuatu”.

Apabila hal diatas dikaitkan dalam tindakan hukum, maka perbuatan korupsi merupakan tindak pidana sebagaimana dinyatakan oleh :
• Prof. Muljatno : perbuatan pidana, adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan). Perbuatan pidana harus terdapat unsur-unsur : perbuatan manusia; memenuhi rumusan dalam UU (syarat formil); bersifat melawan hukum (syarat materiil).
• E. Utrecht : peristiwa pidana merupakan “peristiwa hukum”, yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum tindak pidana korupsi.
• Simon : tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh UU telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

Dalam perkembangan selanjutnya, ruang lingkup korupsi tidak terbatas pada hal-hal yang sifatnya penarikan pungutan, pemberian/penerimaan upeti melainkan juga kepada apa yang dinamakan een rechtmatige ambusverrichting ‘melakukan tugas jabatan tidak sah’, nepotisme ‘pemberian jabatan kepada keluarga dan sanak famili’ serta hal-hal lain yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Dapat dikategorikan kedalam perbuatan korupsi, adalah setiap pemberian yang dikaitkan dengan kedudukan atau jabatan tertentu, sebagaimana UU Nomor 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa, seseorang dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila :
- Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
- Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
- Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya;
- Tanpa alasan wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Berdasarkan hal tersebut di atas, korupsi dengan kata lain merupakan kebusukan, keburukan, kebejatan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, atau merupakan “kejahatan tindak pidana” dan berhubungan dengan hal-hal mengenai :
• Subyek : niat-sengaja (opzet) untuk melakukan kejahatan (misdrijf), percobaan melakukan kejahatan (poging), sudah/mulai dilakukannya sendiri maupun bersama-sama;
• Obyek : adanya sifat melawan hukum, peristiwa kualitas ‘hubungan antara adanya tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat’.

Oleh dari itu, secara garis besar, tindak pidana korupsi dapat mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
• Memperkaya baik sendiri atau dan dengan orang lain atau badan (badan hukum);
• Perbuatan melawan hukum;
• Menimbulkan kerugian bagi keuangan negara atau pereknomian negara.
• Dengan jabatan atau kedudukan, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana;

Selanjutnya hal-hal yang terkandung didalam unsur-unsur mengenai pengertian korupsi dapat dilihat dalam :
• UU No. 31/1999 : pasal 2 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001, “korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.”
• Pasal 362 KUHP : “pencurian adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.”
• Pasal 372 KUHP: “penggelapan adalah pencurian barang/hak yang dipercayakan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.”

Terlepas dari perdebatan mengenai pengertian dan ruang lingkup korupsi, terdapat suatu fenomena menarik yakni, perkembangan peristiwa korupsi menunjukkan trend yang semakin hari semakin meningkat sehubungan dengan banyak terungkapnya peristiwa-peristiwa korupsi. Bahkan dewasa ini berkembang opini publik bahwa korupsi sudah menjelma menjadi suatu budaya baru, dalam arti telah menguasai tingkah laku (behavior) bukan saja aparatur negara, tetapi juga dunia usaha dan seluruh lapisan masyarakat. Bila dikaitkan dengan kebutuhan akan pembiayaan pembangunan bagi suatu negara, jelas hal ini akan membawa implikasi yang lebih jauh tidak saja berupa keengganan investor baik lokal maupun asing untuk menanamkan modalnya (Capital investment), tetapi juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi di negara yang bersangkutan. Dengan demikian tidak dapat dibantah bahwa korupsi akan merugikan kepentingan pembangunan secara keseluruhan dan tata pemerintahan yang baik (good governance).
Selain itu, korupsi dapat dipahami juga sebagai penggelapan yang mengakibatkan kerugian negara, salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan. Korupsi menyebabkan ketidakseimbangan dalam pembentukan dan pengambilan keputusan, kebijakan publik yang pertimbangannya didasarkan oleh uang dengan mengabaikan protap birokasi formal. Bentuk kejahatan yang tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai kejahatan yang memungkinkan menjadi sumber dan pemicu kejahatan lain dan dapat berakibat luas menimbulkan distorsi ‘kekacauan’ didalam sektor publik. Korupsi sebagai perbuatan kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran dan dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut atau tindakan melanggaran hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh UU telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.


PENYEBAB DAN PERMASALAHAN KORUPSI

Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya korupsi sangatlah komplek, namun hal ini janganlah dijadikan sebagai suatu pembenaran dalam suatu peristiwa tindak pidana korupsi. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya korupsi antara lain :
- Culture ‘kebiasaan’ yang telah menjadi budaya dengan istilah “tahu sama tahu”, memberi imbalan jasa, hadiah atau janji kepada pegawai/pejabat pemerintah dengan mengingat adanya kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. Legal culture (budaya hukum) penegak hukum yang belum sepenuhnya mau melaksanakan semangat reformasi.
- Kualitas moral sumberdaya manusia dalam mengadopsi pendidikan agama dan etika yang masih sangat rendah, keserakahan, kurangnya keteladanan dari kepemimpinan elit bangsa, dan tak kurang pentingnya adalah kebiasaan dari kecil dengan melakukan, misalnya kabur disaat jam sekolah sedang berlangsung atau menggunakan uang pembelian buku untuk jajan contohnya.
- Tingkat kesadaran hukum yang merupakan cermin integritas, profesionalisme, kesadaran hukum yang masih rendah. Hilangnya nilai-nilai etika dan moral bangsa dalam mendukung pemberantasan korupsi serta adanya pendapat tentang konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan dari hasil korupsi (mengenai hal ini perlu pemahaman mengenai penyitaan/perampasan barang dikaitkan dengan pasal 39 KUHP tentang barang-barang [Corpora dan instrumenta delicti] yang boleh disita).
- Persepsi ‘pandangan’, sikap, perilaku, dan bahkan falsafah dari para angggota masyarakat yang bersifat konsumtif.
- Lemahnya manajemen pemerintahan dan atau sistem administrasi. Dengan sistem manajemen yang integral dan tidak berdiri sendiri, maka fungsi-fungsi perencanaan, pengelolaan/pelaksanaan dan evaluasi/pengawasan dapat menjadi instrumen yang efektif dalam pengelolaan suatu organisasi sesuai dengan perencanaan yang telah disusun dan ditetapkan sebelumnya. Sehingga dapat diantisipasi apabila terdapat kebocoran, kesalahan administrasi dan dapat menjadikan indikasi bahwa sistem administrasi yang ada belum berfungsi dengan baik sehingga perlu diadakan perubahan.
- Mekanisme pengawasan internal keuangan di semua sektor, fungsi dan birokrasi belum maksimal
- Faktor struktur kekuasaan yang sentralistik, penyalahgunaan kekuasaan/wewenang dalam jabatan.
- Penegakan hukum tidak konsisten dan tidak tegas, Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakkan hukum dan peraturan perundangan.
- Faktor ekonomi. Rendahnya pendapatan (gaji) penyelenggara negara dan tingginya kebutuhan membuat tidak berdaya menghadapi godaan dan “seenaknya sendiri”, menyelewengkan wewenang jabatan dan korup.
- Kesenjangan sosial. Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan dan lingkungan masyarakat yang merangsang timbulnya korupsi. Hal ini berhubungan dengan adanya keinginan untuk dapat “diakui” oleh lingkungannya.

Dengan demikian, secara garis besar, motivasi perbuatan korupsi dapat terjadi karena :
- kebutuhan;
- karena serakah dan ingin memperkaya diri sendiri untuk merubah gaya hidup (mengenai hal ini mungkin benar apa pendapat dari Aristoteles [384-322 S.M] bahwa “Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tapi untuk kemewahan”);
- terdapatnya kesempatan dan peluang;
- tidak adanya transparansi penyelenggaraan administrasi.


HAMBATAN DALAM PENANGANAN KORUPSI

Berbagai hambatan/permasalahan yang terdapat didalam penanganan korupsi selama ini, antara lain :
- Hambatan Psikologis. Terbentuknya pemahaman atas sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung “biasa” dan “maklum” terhadap penyimpangan yang terjadi dilingkungannya dalam penggunaan fasilitas negara ataupun yang mengarah pada pemakaian uang negara. Adanya sikap ini dalam kelanjutannya akan menimbulkan seperti apa yang disebut oleh R. Owen (1771-1858) dalam bukunya The book of the new moral world, “lingkungan yang tidak baik membuat kelakuan seseorang menjadi jahat, dan lingkungan yang baik sebaliknya”, sehingga perbuatan yang mengarah pada perbuatan korupsi akan diterima sebagai hal yang “lumrah” dan biasa dilingkungannya.
- Hambatan kultural, adanya kebiasaan negatif yang terdapat di masyarakat seperti : masih adanya sikap “sungkan”, senioritas, kekeluargaan, kesukuan, kebiasaan memelihara “kedekatan” dengan orang tertentu dalam bentuk pemberian “hadiah” atau “bingkisan” agar dapat melancarkan atau meng-“goal”-kan apa yang menjadi keinginan. Dengan adanya bentuk kebiasaan ini, maka dapat menyebabkan semua keputusan yang diambil (yang mungkin berhubungan dengan masyarakat banyak) menjadi tidak “rasional” menurut ukuran birokrasi yang berlaku karena pengaruh hal-hal tersebut.
- Hambatan instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurang jelasnya perangkat lunak sebagai instrumen pendukung dalam bentuk peraturan seperti : peraturan perundangan ataupun juklak, yang masih berbenturan dan simpang siur. Lemahnya dukungan sistem pengawasan hingga ketidakjelasan proses dalam pelaksanaan penindakan hukum yang kadang-kadang dapat menjadi dasar pembenaran atau dasar hukum yang dapat meringankan pelaku korupsi.
- Hambatan manajemen, yaitu hambatan yang terdapat dalam pengelolaan sistem dan prosedur penyelenggaraan negara, mulai dari kegiatan reqruitments, seleksi, penempatan karier sesuai motto The right man in the right place, promosi, penilaian kinerja, renemurasi ‘imbalan’, opportunity ‘peluang’, sampai dengan jaminan hari tua, masih belum berjalan secara transparansi dan berimbang. Pemanfaatan perangkat keras (hardware) sesuai dengan perkembangan teknologi yang mempunyai implikasi terhadap syarat-syarat atau tuntutan pekerjaan (job) masih belum berjalan secara optimal. Lemahnya sistem pengawasan operasional (outward looking) yang ditujukan agar dapat meningkatkan tugas dalam memberi pelayanan kepada masyarakat yang andal (excellent services).
- Hambatan yang bersumber dari praktek-praktek penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Kurangnya komitmen dan pemahaman konsep pertanggungjawaban (accountability) serta campur tangan eksekutif, legislatif, yudikatif yang dapat melemahkan penanganan korupsi, koordinasi yang tidak profesional, tidak independennya sektor pengawasan internal (inward looking),
- Sistem pendidikan dan sosialisasi dalam menanamkan kesadaran dan tanggungjawab untuk melawan korupsi dilingkungan generasi muda dan para pelajar yang kurang berjalan efektif serta kurangnya menanamkan pengertian kepada anak didik tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara. Selama dalam masyarakat yang terbagi atas golongan kaya dan miskin, maka nafsu, keinginan untuk memiliki yang ada di sekelilingnya akan timbul. Namun hal ini dapat ditekankan bahwa hal itu merupakan sikap yang buruk (dosa). Rendahnya pendidikan masyarakat sebagai social control ‘pengawasan masyarakat’ juga dapat menjadi faktor yang mengkondisikan pengawasan praktik korupsi didalam masyarakat menjadi kurang berjalan.


TINDAKAN/KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG BENTUK/JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam perkembangan selanjutnya, secara garis besar, jenis-jenis perbuatan korupsi sebagai tindak pidana mencakup :
• Penyuapan (memberi atau menerima hadiah atau janji;
• Penggelapan dalam jabatan;
• Pemerasan dalam jabatan;
• Perbuatan curang;
• Penyerobotan tanah negara (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Hal tersebut diatas dapat dilihat dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, yang merumuskan bentuk/jenis tindak pidana korupsi sebagai berikut :
a. Kerugian keuangan Negara :
(1) melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi dan dapat merugikan keuangan negara;
(2) menyalahgunakan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain dan korporasi, dan dapat merugikan keuangan negara;
b. Suap menyuap :
(1) menyuap pegawai negeri atau penyelenggara negara;
(2) memberi hadiah kepada pegawai negeri;
(3) Pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima suap atau hadiah yang berhubungan dengan jabatannya;
(4) menyuap hakim dan atau advokat;
(5) Hakim dan atau advokat menerima suap;
c. Penggelapan dalam jabatan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara) dengan:
(1) menggelapan uang atau membiarkan penggelapan;
(2) memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi;
(3) merusakkan barang bukti;
(4) membiarkan orang lain merusakkan bukti;
(5) membantu orang lain merusakkan barang;
d. Pemerasan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara);
e. Perbuatan curang;
(1) pemborong berbuat curang;
(2) pengawas proyek membiarkan perbuatan curang;
(3) rekanan TNI/POLRI berbuat curang;
(4) Pengawas rekanan TNI/POLRI berbuat curang;
(5) penerima barang TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang;
f. menyerobot tanah negara (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara) sehingga merugikan orang lain;
g. turut serta dalam pengadaan yang diurusnya (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara);
h. menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara).

Disamping itu ada 6 (enam) jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi, yaitu :
a. merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
b. tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
c. Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka;
d. saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu;
e. orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu;
f. saksi yang membuka identitas pelapor;



PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI YANG PERNAH BERLAKU DAN MASIH BERLAKU

Langkah-langkah kebijakan dan tindakan Pemerintah Indonesia dalam penanganan korupsi telah dimulai sejak tahun 1954 dengan mengeluarkan peraturan tentang korupsi di Indonesia yang sampai saat ini “produk” peraturan perundang-undangan yang membahas tentang korupsi, antara lain :
• Undang-Undang No. 32/1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-undang ini menyinggung mengenai korupsi sebagaimana dalam penjelasan umum yang mencantumkan : “Pegawai Pencatatan Nikah menjalankan kewajibannya dengan tidak semestinya hanya semata-mata ditujukan untuk memperbesar penghasilannya, kurang memperhatikan hukum-hukum Islam yang sebenarnya. Perbuatan sedemikian itu, yang merupakan suatu korupsi serta merendahkan derajat Pegawai Nikah, tidak saja dapat celaan dari pihak perkumpulan wanita-Indonesia, akan tetapi juga dari pihak pergerakan Islam yang mengetahui betul-betul syarat-syaratnya…. Korupsi serta keberatan-keberatan lainnya hanya dapat dilenyapkan, jika pimpinan yang bersangkut paut dengan perkawinan, talak dan rujuk diserahkan pada satu instansi, serta para pegawai pencatat nikah diberi gaji yang tetap sesuai dengan kedudukan mereka dalam masyarakat.”
• Berdasarkan UU No. 74/1957, penguasa-penguasa perang pada waktu itu mempunyai kekuasaan untuk membuat peraturan, beberapa diantaranya :
- Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957, yang dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat. Peraturan ini mengawali istilah korupsi sebagai istilah yuridis dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat yang kemudian dirubah berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 tentang pemilikan harta benda.
- Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/011/1957 tentang Wewenang Penguasa Militer dalam menyita barang-barang.
- Peraturan Penguasa Perang Pusat KSAD No. Prt/Perperu/013/1958 tanggal 16 April 1958. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu seluruh wilayah negara RI dinyatakan dalam keadaan perang berdasarkan UU No.74/1957 jo UU No. 79/1957 dalam rangka tindak pidana korupsi.
- Peraturan Penguasa Perang Pusat KSAL No. Prt/Z.I/7/1958 tgl. 17 April 1958;
• UU No. 24 Prp tahun 1960 sebagai penetapan atas Perpu No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Perubahan menjadi undang-undang ini berdasarkan UU No. 1/1960.
• Keppres No. 228/1967 tentang Pembentukan Team Pemberantasan Korupsi (TPK) yang bertugas membantu pemerintah dalam memberantas perbuatan korupsi secepat-cepatnya dan setertib-tertibnya (psl 2 ayat 1)
• Keppres No. 12/1970 tentang tugas Komisi Empat (Wilopo S.H., I.J. Kasino, Prof. Ir. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto), dengan tugas :
- mengadakan penelitian dan penilaian terhadap kebijaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pemberantasan korupsi;
- memberi pertimbangan kepada Pemerintah mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan dalam rangka pemberantasan korupsi.
• Keppres No. 13/1970 yang mengangkat Dr. Moh. Hatta sebagai penasehat presiden dengan tugas : memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam soal-soal yang berhubungan dengan usaha-usaha pemberantasan korupsi serta memberikan saran kepada Komisi 4 untuk kelancaran tugasnya.
• Surat Keputusan Jaksa Agung RI Selaku Ketua Team Pemberantasan Korupsi No. : KEP.020/TPK/6/1970 yang ketentuannya dimaksud untuk menyempurnakan pokok-pokok organisasi dan tata kerja Team Pemberantasan Korupsi (TPK) dan disusul dengan KEP.024/TPK/7/1970 dengan menetapkan pokok-pokok organisasi dan tata kerja sub TPK di Daerah Tingkat I/Propinsi.
• Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagai pengganti UU No. 24 Prp tahun 1960, namun ketentuan yang terdapat didalamnya masih tetap perlu diperhatikan [psl. 36 UU No. 3/1971]).
• Inpres No. 9/1977 tentang Operasi Penertiban, dengan tugas membersihkan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen.
• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Nomor XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
• Keppres No. 27/1999 tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, dengan tugas : pemeriksaan kekayaan pejabat negara, (Lembaga ini kemudian, menjadi Sub Bagian Pencegahan dalam Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK).
• Undang-undang Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
• Undang Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagai pengganti UU No. 3/1971). Ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana menurut undang-undang ini terdiri dari 15 perumusan Tindak Pidana Korupsi beserta aturan pemidanaannya dan mengatur delik yang berhubungan dengan proses penyidikan dan penuntutan perkara korupsi).
• Peraturan Pemerintah No. 19/2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan tugas : mengungkap kasus koruspi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung. (Berdasarkan Keputusan hak uji materiil/judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK terpaksa bubar).
• Keppres No. 44/2000 tentang Komisi Ombusman Nasional.
• Undang-undang Nomor 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999. Dimuatnya tentang unsur suap, tindak pidana suap yang berkaitan dengan jabatan, kewajiban, dan tugas.
• Undang-undang Nomor 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25/2003;
• Undang-undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-undang ini, KPK mempunyai tugas antara lain : menyelidiki kasus korupsi yang nilainya di atas Rp. 1 milyar dan menarik perhatian masyarakat; melakukan koordinasi supervisi penegak hukum dalam penangan korupsi; memonitor penyelenggaraan negara; melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan kasus korupsi; melakukan upaya pencegahan korupsi.
• Keppres No. 59/2004 tentang Pengadilan Tipikor, dengan wewenang : memeriksa dan memutus kasus korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK.
• Keppres No. 11/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi (Tipikor), dengan tugas : mengkordinasikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan; menelusuri, mengamankan aset korupsi untuk pengembalian kerugian negara secara optimal.


PERCEPATAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Pemerintah era reformasi nampak bermaksud serius mempercepat pemberantasan korupsi dengan mengadakan perangkat lunak untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan setiap orang, pegawai negeri, penyelenggara negara atau korporasi dengan secepatnya. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkan UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PP No. 71/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, telah dibentuk badan/komisi yang sudah ada sebelum KPK, antara lain :
1. Tim Pemberantasan Korupsi, yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 228/1967 dan UU No. 24/1960. Pelaksana : Ketua Tim Jaksa Agung; tugas : membantu pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan preventif.
2. Komite Anti Korupsi, dibentuk tahun 1970. Pelaksana : Angkatan ‘66.
3. Komisi Empat, dibentuk berdasarkan Keppres No. 12/1970, dengan tugas : menghubungi pejabat atau instansi swasta sipil, atau militer; memeriksa administrasi pemerintah dan swasta; meminta bantuan aparatur pemerintah pusat dan daerah;
4. Opstib, dibentuk berdasarkan Inpres No. 9/1977. Pelaksana Koordinasi Pelaksana Tingkat Pusat : MENPAN, Pelaksana Operasi Tertib : PANGKOPKAMTIB.
5. Tim Pemberantasan Korupsi, dibentuk tahun 1982, Pelaksana : JB Sumarlin, Pangkopkamtib, Ketua MA, Jaksa Agung, Kapolri.
6. KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara), berdasarkan UU No. 28/1999 dan Keppres No. 27/1998. didukung 25 anggota : Polisi, Jaksa, Aktivis Kemasyarakatan. Tugas : Membantu Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.
7. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dibentuk berdasarkan UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 Pasal 43, yang mempunyai tugas dan wewenang : melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Mengenai tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dijelaskan dalam UU No. 30/2002 Pasal 6, antara lain :
a. melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. melaksanakan supervisi terhadap instansi berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
e. melakukan monitor terhadap pelanggaran pemerintahan negara.

Sedangkan wewenang dari komisi ini, antara lain :
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan; dll.

Nampaknya saat ini, Pemerintah Indonesia makin memprioritaskan pemberantasan korupsi dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) dengan aktif mendukung dan mengadakan kerjasama di forum internasional yang salah satunya pada tanggal 18 Desember 2003 menandatangani konvensi PBB menetang korupsi. Dengan menandatangani konvensi tersebut, maka Indonesia bertekad melakukan tindakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Langkah konkrit tersebut dituangkan dalam Inpres No. 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan kepada : Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu; Jaksa Agung RI; Panglima TNI; Kepala Kepolisian Negara RI; Para Kepala LPND; Para Gubernur; Para Bupati dan Walikota, untuk :

1. Seluruh Pejabat Pemerintah yang termasuk dalam kategori Penyelenggara Negara sesuai UU No. 28/1999, segera melaporkan harta kekayaannya kepada KPK; Melakukan sosialisasi perihal arti pentingnya laporan kekayaan Negara; Menyampaikan LHKPN kepada KPK; mendata dan melaporkan pejabat yang telah menyerahkan dan yang belum;
2. Membantu KPK dalam penyelenggaraan pelaporan, pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan laporan harta penyelenggara negara dilingkungannya;
3. Membuat penetapan kinerja dengan pejabat dibawahnya secara berjenjang, dengan tujuan untuk mewujudkan suatu pencapaian kinerja tertentu dengan sumberdaya tertentu, melalui penetapan target kinerja serta indikator yang menggambarkan keberhasilan pencapaiannya baik berupa hasil maupun manfaat; Membuat kontrak kinerja secara berjenjang; Sebagai wujud pertanggungjawaban, menyampaikan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) unit kerja yang bersangkutan;
4. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam bentuk jasa maupun perijinan, melalui transparansi dan standarisiasi pelayanan yang meliputi persyaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pungutan liar; Menyusun SOP : penetapan persyaratan pelayanan; target waktu penyelesaian; biaya yang harus dibayar oleh masyarakat.
5. Menetapkan program dan wilayah yang menjadi lingkup tugas, wewenang dan tanggungjawabnya sebagai program dan wilayah bebas korupsi;
6. Melaksanakan Keppres No.80/2003 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah secara konsisten untuk mencegah berbagai macam kebocoran dan pemborosan penggunaan keuangan Negara baik yang berasal dari APBN maupun APBD; Pengumuman pengadaan barang/jasa via wibesite; Kegiatan pengadaan barang/jasa terbuka/transparansi.
7. Menerapkan kesederhaan baik dalam kedinasan maupun dalam kehidupan pribadi serta penghematan pada penyelenggaraan kegiatan yang berdampak langsung pada keuangan Negara;
8. Memberikan dukungan maksimal terhadap upaya-upaya penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung RI dan KPK dengan cara mempercepat pemberian informasi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi dan mempercepat pemberian ijin pemeriksaan terhadap saksi/tersangka;
9. Melakukan kerjasama dengan KPK untuk melakukan penelaahan dan pengkajian terhadap sistem-sistem yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi dalam ruang lingkup tugas, wewenang dan tanggungjawab masing-masing;
10. Meningkatkan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif dilingkungannya.

Selanjutnya dalam percepatan pemberantasan korupsi pada intinya melakukan perubahan kebijakan dan penyederhanaan system dan birokasi, penegakan hukum dan penerapan hukuman yang tepat serta kerjasama dan partisipasi masyarakat dalam membangun moraliltas. Tindakan perubahan yang dilakukan ini, secara garis besar terdiri atas :
- Peraturan ketentuan perundangan yang berlaku dengan melakukan pembaharuan undang-undang, substansi hukum (Legal substance reform);
- Memperbaiki sistem dan struktur manajemen (Management structure reform) dengan pemanfaatan iptek;
- Pengawasan dan pengaturan yang transparan dalam penggunaan asset antara milik negara dan pribadi;
- Disiplin dalam etika kerja dan tata tertib lembaga dengan melakukan pembaharuan etika hukum (legal ethic reform) serta pemberian sanksi secara tegas;
- Peningkatan pengawasan dengan system yang tepat dan transparan untuk mencegah sekaligus sebagai tindakan preventif dalam peningkatkan pelaksanaan tugas dan kegiatan pemerintahan serta tranparansi birokasi pada sektor publik untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang andal (Excellent services).

Sedangkan dari culture, perlu dilakukan perubahan budaya hukum (legal culture reform) dengan mengkikis secara perlahan-lahan namun pasti, sehingga pada saatnya akan menghapus pula budaya nepotisme yang jelas-jelas tidak mendukung kepada upaya penciptaan profesionalisme dan hal ini sangat tergantung pada keadaan serta kemauan kelompok pemimpin yang sangat dituntut kesadarannya serta pengertian dan pemahamannya terhadap sifat, sebab dan akibat korupsi dan selanjutnya dapat menjadi contoh dan tokoh panutan bagi lainnya. Dengan berbekal ilmu/pendidikan hukum (legal science/education), kesadaran dan pengertian serta pemahaman para pejabat terhadap korupsi, diharapkan akan merubah orientasinya bahwa kegiatan pemerintahan beserta segala aspek-aspeknya hanyalah ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang menggunakan kepentingan negara untuk kepentingan pribadi sama dengan tindakan pengkhianatan kepada masyarakat dan merupakan pelanggaran terhadap tata hukum yang berlaku. Selain itu, perlu dilakukan langkah-langkah dengan :
- Penindakan secara tegas pejabat yang terlibat korupsi secara cepat dan tegas;
- Peningkatkan moral manusia melalui pendalaman terhadap agama;
- Penanaman “Budaya Malu” dan menyatakan dengan tegas bahwa korupsi adalah perbuatan tercela;
- Program sosialisasi dan pendidikan anti korupsi dalam pencapaian kesadaran hukum
- Pemilihan pemimpin yang bersih, jujur dan yang bisa menjadi teladan, bukan semata-mata kedekatan secara emosional, namun berdasarkan pendekatan kriteria penilaian sebagai calon pemimpin yang ideal.
- Penyempurnaan atau pembaharuan sistem administrasi untuk mencegah kebocoran. Khususnya dalam hal ini masalah pengawasan harus lebih diintensifkan dan memangkas duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan dengan pemanfaatan iptek.


PARTISIPASI MASYARAKAT SEBAGAI “SOCIAL CONTROL”

Partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan didalam penyelenggaraan pemerintahan diatur dalam UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa ”masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi”. Sebagai tindak lanjut UU No. 31/1999, telah ditetapkan PP No. 71/2000 tentang Tatacara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengawasan masyarakat secara individual maupun kelompok/organisasi sosial kemasyarakatan (LSM) misalnya, dengan memberikan data/informasi kepada Pemerintah, DPR/DPRD, KPK maupun lembaga lainnya yang mempunyai komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi antara lain : ICW, Masyarakat Transparansi, YLKI dll. yang sampai saat ini masih terus berperan aktif dalam melaksanakan fungsi Social Control terhadap jalannya pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung sesuai dengan norma-norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain partisipasi masyarakat sebagaimana dijelaskan di atas, sebenarnya masih banyak dukungan dan peran dari masyarakat yang bisa dilakukan dalam memberantas korupsi, misalnya dengan mengasingkan dan menolak keberadaan koruptor termasuk dalam mengingatkan beban berat yang harus dipikul oleh keluarga atau keturunan yang terlibat korupsi.
Selain undang-undang yang tersebut diatas, masih terdapat kebijakan yang dapat menjadi dasar masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, antara lain :

- Undang-Undang Dasar 1945;
Pasal 27 ayat (1) : Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan wajib menunjang hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
Pasal 28 D butir 1 : setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
Pasal 30 ayat (1) Kepolisian Negara RI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani serta menegakkan hukum.
- Undang-Undang N0. 9/1989 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat :
Pasal 3 : Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum dilaksanakan berlandasan pada azas keseimbangan antara hak dan kewajiban; azas musyawarah dan mufakat; azas kepastian hukum dan keadilan; azas proporsionalitas; dan azas manfaat.
- Undang-Undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi :
Pasal 41 ayat (1) : masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi;
Pasal 41 ayat (2) : peran serta masyarakat, diwujudkan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum, dalam hal : melaksanakan haknya sebagaimana diatur dalam huruf a, b dan c; diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku; (3) masyarakat mempunyai hak dan tanggungjawab dalam upaya mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
- Peraturan pemerintah No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara;
Pasal 2 ayat (1) : peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk :
• hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi penyelenggaraan negara;
• hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;
• hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara;
- Peraturan pemerintah No. 31/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Pasal 4 ayat (1) : setiap orang, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan jawaban dari penegak hukum atau komisi atau informasi, saran atau pendapat yang disampaikan kepada penegak hukum atau komisi;
Pasal 4 ayat (2) : penegak hukum atau komisi (lembaga hukum) wajib memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas informasi, saran atau pendapat dari setiap orang, organisasi masyarakat atau lembaga swasdaya masyarakat dalam waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran atau pendapat diterima;
Pasal 5 ayat (1) : setiap orang, organisasi masyarakat, LSM, berhak atas perlindungan hukum baik mengenai status hukum maupun rasa aman;
- KepMenPan No. 118/M.PAN/8/2004 tentang Pedoman Umum Pengaduan Masyarakat bagi Instansi Pemerintah, menetapkan ketentuan :
(1) pengaduan masyarakat yang berkadar pengawasan dengan identitas pelapor yang tidak jelas, namun substansi/materi logis dan memadai harus segera dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan kebenaran informasi;
(2) pengaduan masyarakat yang identitas pelapornya tidak jelas dan atau tidak ada data yang layak serta menunjang informasi yang diadukan dan atau pengaduan yang berupa keinginan pelapor yang secara tidak normatif tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dan pemerintah tidak mungkin memenuhinya tidak perlu penanganan lebih lanjut, tetapi cukup dicatat sebagai dokumenrasi/arsip.

Semoga dengan adanya ini semua dapat menghapus korupsi, walau penulis tidak yakin akan hal ini karena “kejahatan akan selalu ada selama manusia ada dan keserakahan selalu ada selama kemewahan ada”, namun minimal dapat mengurangi korupsi sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat berkurang. Namun untuk hal ini diperlukan kerja keras dan kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat dan mempunyai komitmen yang kuat disertai tindakan yang nyata untuk menolak korupsi. Semoga …

Dibuat sebagai bahan pengajar pada Diklat Prajabatan Gol. I dan II Tahun 2009, Mata Diklat : Percepatan Pemberatasan Korupsi,15 Mei 2009.



Category:
��

Comments

0 responses to "KORUPSI DARI WAKTU KE WAKTU"